Cara Memandang Terhadap Lawan Jenis di Mata Tuhan: Panduan Rohani, Etika, dan Cinta Sejati

Jeffrie Gerry
0

 


Pendahuluan

Bagaimana cara kita memandang lawan jenis? Apakah dengan mata nafsu, prasangka, atau kasih? Pertanyaan ini sangat relevan di zaman modern ketika relasi antar gender sering disalahpahami, dieksploitasi, atau bahkan disesatkan oleh media sosial dan budaya pop. Namun, tahukah Anda bahwa cara memandang lawan jenis ternyata sangat penting di mata Tuhan? Tidak hanya menyangkut etika dan moral, tetapi juga menentukan nilai spiritual dan kemurnian hati seseorang.

Dalam artikel ini, kita akan membahas cara yang benar, sehat, dan spiritual dalam memandang lawan jenis menurut perspektif ilahi, lengkap dengan pembelajaran hidup dan pesan positif yang bisa menjadi bekal dalam kehidupan sehari-hari.


1. Memandang dengan Hati yang Murni

📖 Prinsip Ilahi:

"Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya." (Matius 5:28)

Mata adalah jendela hati. Jika hati kita bersih, maka pandangan kita juga akan bersih. Tuhan menghendaki kita untuk memandang lawan jenis bukan sebagai objek keinginan, tetapi sebagai sesama ciptaan yang mulia, dengan martabat yang sama.

🔍 Pembelajaran:
Kita diajak melatih disiplin batin dan pengendalian diri, bukan sekadar menahan pandangan mata, tetapi juga membersihkan niat hati.

💡 Pesan Positif:
Pandangan yang murni membuka jalan pada relasi yang sehat, saling menghormati, dan mencerminkan kasih Tuhan. Hubungan yang baik selalu dimulai dari niat yang bersih.


2. Menghormati, Bukan Menguasai

🌿 Ajaran Tuhan:

"Perempuan adalah penolong yang sepadan." (Kejadian 2:18)

Lawan jenis diciptakan bukan untuk dikuasai, direndahkan, atau dieksploitasi, tetapi untuk dihormati sebagai mitra yang setara. Memandang lawan jenis dengan niat dominasi atau manipulasi adalah bentuk pelanggaran terhadap kehendak Tuhan.

🔍 Pembelajaran:
Belajarlah memandang setiap orang dengan nilai dan potensi uniknya, bukan sekadar berdasarkan fisik atau penampilan luar.

💡 Pesan Positif:
Saat kita menghormati lawan jenis sebagai pribadi yang sepadan, hubungan akan bertumbuh dalam kepercayaan, komunikasi yang sehat, dan saling melengkapi secara utuh.


3. Cinta Bukan Nafsu: Bedakan Keduanya

❤️ Hikmat dari Kitab Suci:

"Kasih itu sabar, kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong." (1 Korintus 13:4)

Cinta sejati adalah memberi, bukan menuntut. Banyak orang salah memandang lawan jenis karena dorongan nafsu yang dibungkus seolah-olah cinta. Tuhan memanggil kita untuk mengasihi dengan kasih agape—kasih yang tidak mementingkan diri sendiri.

🔍 Pembelajaran:
Jangan terburu-buru menyebut "cinta" jika yang mengendalikan adalah hawa nafsu. Perlu waktu, doa, dan kedewasaan untuk mengenali perbedaan antara ketertarikan fisik dan komitmen cinta sejati.

💡 Pesan Positif:
Membangun cinta yang sehat akan membawa damai, bukan luka. Tuhan menghendaki cinta yang tumbuh dalam kekudusan, bukan yang menjebak dalam dosa.


4. Pandanglah sebagai Saudara dan Saudari dalam Iman

🤝 Persaudaraan Rohani:

"Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara." (Roma 12:10)

Dalam iman, semua orang adalah saudara. Memandang lawan jenis sebagai bagian dari keluarga rohani akan mendorong kita untuk menjaga sikap, kata, dan perlakuan. Kita akan lebih berhati-hati untuk tidak menyakiti, mempermainkan, atau menodai martabatnya.

🔍 Pembelajaran:
Dengan mengadopsi pola pikir “saudara seiman”, kita menghindari banyak jebakan sosial seperti flirting berlebihan, ghosting, atau relasi toksik.

💡 Pesan Positif:
Membangun relasi berdasarkan kasih persaudaraan rohani akan menghasilkan ikatan yang tulus, sehat, dan mendalam.


5. Doa: Memandang Seperti Tuhan Memandang

🙏 Doa Daud:

"Ciptakanlah hati yang bersih dalam diriku, ya Allah." (Mazmur 51:12)

Cara terbaik memandang lawan jenis adalah melihat mereka seperti Tuhan melihat kita—dengan kasih, kesabaran, dan pengharapan. Bukan dengan prasangka, hawa nafsu, atau penilaian dangkal.

🔍 Pembelajaran:
Latihlah dirimu untuk berdoa sebelum berbicara, berinteraksi, atau menjalin hubungan. Minta Tuhan memberi pandangan yang benar dan sikap hati yang sesuai.

💡 Pesan Positif:
Saat kita belajar melihat orang lain dengan mata kasih Tuhan, kita tidak hanya menjaga hati sendiri, tetapi juga menjadi berkat bagi orang lain.


Kesimpulan: Memandang dengan Kasih dan Kebijaksanaan Ilahi

Cara kita memandang lawan jenis mencerminkan kedewasaan iman kita. Apakah kita memandang dengan penuh hormat, kasih yang murni, dan niat yang benar? Atau masih terbawa oleh budaya yang memandang dengan nafsu, ego, dan penilaian sempit?

Tuhan memanggil kita untuk menjadi terang dan garam dunia, termasuk dalam cara memandang, berbicara, dan bertindak terhadap lawan jenis. Mulailah dari pikiran yang bersih, hati yang tulus, dan doa yang konsisten. Maka hubungan apa pun yang kita bangun akan penuh berkah.


Penutup: Jadilah Cermin Kasih Tuhan

“Apa yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” (Lukas 6:31)

Memandang lawan jenis dengan cara yang benar adalah cermin dari karakter rohani kita. Jadilah pribadi yang tidak hanya menarik secara lahiriah, tetapi juga menginspirasi secara batiniah—karena kita memandang orang lain bukan dengan mata dunia, tetapi dengan mata Tuhan.


"Kau Adalah Keindahan yang Tak Perlu Disentuh: Sebuah Doa Tentang Pandangan"
(oleh: Pengembara Jiwa – Jeffrie Gerry (Japra))

Kau hadir di hadapanku,
dalam wujud yang tak sekadar tubuh dan rona,
tapi pancaran jiwa yang Tuhan anyam dengan tangan-Nya—
angin tak terlihat, tapi terasa
seperti tatapmu yang teduh, tak mengundang, tapi menenangkan.

Aku belajar memandangmu bukan sebagai pemuas,
bukan sebagai ladang ego yang siap kutanami hasrat,
melainkan sebagai taman doa—
tempat bunga-bunga dijaga, bukan dipetik.

Engkau lawan jenis,
bukan lawan perang.
Bukan pula trofi yang harus kuraih,
tapi rekan hidup yang perlu kupahami.

Kau bukan milik siapa-siapa,
selain milik Tuhan yang menitipkan
untuk dikenali, bukan dikuasai.

Aku tak ingin membakar kehadiranmu
dengan bara syahwat yang buta arah,
karena aku tahu,
setiap mata yang menunduk karena cinta kepada-Nya
telah menang dalam peperangan batin yang tak dilihat siapa-siapa.

Kau adalah makhluk pilihan,
yang tubuhmu bukan pajangan,
yang suaramu bukan panggilan dosa,
melainkan lagu semesta,
jika aku bersedia mendengarnya sebagai pujian, bukan godaan.

Aku ingin memandangmu,
dengan mata hati,
yang tertatih memeluk keindahan tanpa mencemari,
yang tahu batas antara kekaguman dan pelanggaran,
antara rasa dan nafsu,
antara kagum dan kerakusan.

Bukankah Tuhan menciptakanmu sebagai keindahan,
bukan jebakan?

Bukankah Kau diciptakan seperti senja—
yang hanya bisa dinikmati,
bukan dimiliki?

Lawan jenis,
bukan berarti lawan prinsip.
Bukan berarti obyek untuk dimenangkan,
melainkan subyek yang setara,
yang bisa kutemani berjalan di sisi, bukan di belakang.

Aku ingin mencintaimu,
bukan dengan sentuhan,
tapi dengan perlindungan.
Bukan dengan desahan,
tapi dengan doa panjang.
Bukan dengan paksaan,
tapi dengan kebebasan untuk kau tumbuh menjadi cahaya.

Cinta yang Tuhan restui
tak datang dari mata yang lapar,
tapi dari hati yang sabar.
Tak datang dari hasrat terburu,
tapi dari jiwa yang rela menunggu.

Engkau dicipta bukan hanya cantik di wajah,
tapi dalam sabar dan lembutnya tutur.
Dan aku pun berusaha,
tak sekadar kuat di badan,
tapi juga dalam menahan diri.

Karena cinta yang dewasa
bukan tentang siapa yang bisa lebih cepat memiliki,
tapi siapa yang lebih lama bisa menjaga diri.

Dunia bilang:
“Lawan jenis itu harus dipikat.”
Tapi aku tahu,
mereka yang memburu tak akan pernah tahu cara bersyukur.
Mereka yang mendekat tanpa izin Tuhan,
akan jauh dari keberkahan.

Kau bukan buah yang siap dipetik,
karena aku bukan pencuri.
Aku ingin jadi penjaga taman,
yang merawat dari jauh,
hingga waktu panen yang Tuhan tetapkan tiba.

Apakah memandangmu itu dosa?
Tidak,
jika mata ini kuarahkan ke langit lebih dulu,
meminta izin sebelum memuja.

Apakah mencintaimu itu salah?
Tidak,
jika cinta itu tak menodaimu,
tak membuatmu kehilangan martabatmu.

Aku ingin mencintaimu dalam diam,
yang tak menuntut balasan,
karena cinta sejati tak butuh validasi selain dari Tuhan.

Memandangmu,
bagaikan membaca ayat-ayat tak tertulis.
Setiap kerlinganmu adalah huruf,
setiap langkahmu adalah jeda,
dan aku ingin membacamu tanpa menistakan makna.

Duhai lawan jenis,
engkau bukan lubang untuk pelarian birahi,
engkau bukan layar untuk proyeksi luka masa kecilku.
Engkau adalah pribadi utuh,
yang dicipta dengan alasan yang agung.

Engkau adalah puisi dari langit,
yang seharusnya tak kubacakan dengan suara kasar,
tapi dengan hati yang gemetar penuh hormat.

Aku pun ingin menjadi sebaik-baiknya pria,
yang mengulurkan tangan bukan untuk meraba,
tapi untuk menuntunmu,
menuju cahaya yang lebih tinggi daripada cinta manusia—
menuju Tuhan yang menciptakan cinta pertama itu sendiri.

Jika nanti Tuhan takdirkan kita bersama,
maka biarlah itu setelah semua ujian dijawab
dengan iman,
bukan dengan alasan-alasan lemah nafsu dan takut kesepian.

Tapi jika tidak,
aku tetap bersyukur pernah memandangmu
dengan pandangan yang menjaga.
Karena memandang tanpa mencemari,
itu juga cinta.

Biarlah mataku menjadi saksi
bahwa aku bisa melihat wanita,
tanpa merendahkan mereka.
Biarlah tubuhku menjadi saksi,
bahwa aku bisa menahan,
ketika dunia menyuruh untuk melepaskan.

Biarlah hatiku menjadi saksi,
bahwa cinta tak harus selalu memiliki,
tapi cukup menghargai,
dan melepaskan jika memang bukan takdirnya.

Kau adalah keindahan yang tak perlu disentuh,
karena Tuhan telah menyentuhmu lebih dulu.
Aku hanya tamu yang lewat di halaman hidupmu,
dan tak seharusnya aku mencabut bunga yang belum tentu milikku.

Tapi jika aku diizinkan masuk,
aku akan datang membawa iman,
bukan iming-iming.
Membawa tanggung jawab,
bukan rayuan malam hari.

Karena melihatmu adalah pelajaran,
dan mencintaimu adalah ujian.
Jika lulus,
maka hadiahnya bukan hanya kamu,
tapi ridho Tuhan yang membentuk kita.

Kau adalah lawan jenis—
ya, lawan bagi ego dan birahi.
Tapi kau adalah kawan bagi cinta yang suci.
Dan aku,
akan belajar terus untuk memandangmu
seperti Tuhan memandangmu:
dengan kasih,
dengan hormat,
dengan takzim.

Dan andai nanti kita dipersatukan,
biarlah itu bukan karena aku pandai merayu,
tapi karena Tuhan menyatukan dua jiwa
yang sama-sama tahu cara mencinta dengan benar.

Dan jika tidak,
doaku akan tetap menjagamu
meski jarak menjauhkan,
karena cinta yang benar
tak pernah berniat merusak.

Engkau indah,
bukan karena kulitmu putih atau matamu bulat,
tapi karena engkau ciptaan Tuhan.
Itu cukup.
Dan aku tak akan merusaknya
dengan tatapan penuh syahwat yang tak sopan.

Kita diciptakan berbeda,
agar saling memahami.
Bukan saling merusak.
Bukan saling mengendalikan.
Bukan saling menghakimi.

Dan jika cinta itu tiba,
maka semoga kita telah siap—
bukan hanya di hati,
tapi juga di iman dan akhlak.

Karena cinta bukan soal “aku suka kamu.”
Tapi soal,
“Aku ingin bersamamu untuk menuju surga,
jika Tuhan mengizinkan.”


Pesan positif dari puisi ini:
Pandangan terhadap lawan jenis harus dilandasi oleh kesucian, penghargaan, dan iman. Lawan jenis bukan untuk dikendalikan atau dinikmati secara nafsu, melainkan dihormati sebagai ciptaan Tuhan yang setara. Cinta yang sejati selalu dimulai dari kesadaran spiritual, bukan sekadar ketertarikan fisik.

Tags

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)